Shear Blog - Sosiolog Imam Prasodjo mengatakan, bahaya yang diakibatkan zat di dalam rokok telah dipropagandakan menjadi positif oleh industri rokok. "Saat ini yang perlu kita lakukan adalah membatasi peredaran dan melarang melalui iklan rokok," kata Imam usai acara peluncuran Kawasan Bebas Rokok di Lingkungan Instansi Muhammadiyah di Gedung Pengurus Pusat Muhammadiyah, Jakarta, Senin (14/11/2011) kemarin.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO), Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia-Pasifik yang belum menandatangani Konvensi Kerangka Kerja Mengenai Kontrol Tembakau (FCTC). Menurut Imam, sikap Indonesia tersebut mencerminkan ketidakseriusan pemerintah dalam melindungi rakyatnya. Padahal, di dalam kesepakatan FCTC terdapat aturan-aturan mengenai promosi dan sponsorship rokok, lingkungan bebas asap rokok, perokok pasif, dan industri tembakau.
Beberapa di antara peraturan FCTC menyebutkan negara berkewajiban melindungi warga negaranya dari bahaya rokok.
"Indonesia memiliki undang-undang dasar yang menyebutkan akan melindungi seluruh tumpah darahnya, tapi tidak mau melindungi dari bahaya rokok," ujarnya.
Imam menggarisbawahi pelarangan iklan dan pembatasan distribusi tersebut bukan untuk mematikan industri rokok, namun melindungi warga negara yang belum cukup umur dan yang tidak mau merokok. "Industri rokok jangan khawatir, mereka akan tetap untung," katanya.
"Masalahnya ada pada iklan-iklan rokok di Indonesia mencitrakan rokok sebagai sesuatu yang positif, pria punya selera, selera Indonesia, dan sebagainya. Citra tersebut rayuan yang sangat sukar ditolak," katanya. Karena itu, Imam berpendapat, "Tidak ada cara lain, iklan rokok harus `di-banned`(dilarang)."
Soal pembatasan distribusi, Imam mengatakan produk rokok tidak boleh dijual eceran dan hanya boleh dijual kepada orang dewasa menurut undang-undang, dan menyertakan label peringatan dalam bentuk gambar (graphic warning).
FCTC mensyaratkan graphic warning meliputi 50 persen dari ukuran bungkus rokok dan 174 negara telah menandatangani kesepakatan itu, termasuk Negeri Jiran Malaysia.
"Sedangkan industri rokok di Indonesia masih menawar 30 persen atau tidak sama sekali," kata Imam.
Imam menilai, kondisi itu telah menunjukkan pengaruh industri rokok di dalam politik dan pemerintahan, bahkan media di Indonesia. "Karena media cetak maupun elektronik merupakan sarana beriklan yang paling efektif," katanya.
Pasar baru yang disasar industri rokok kini adalah konsumen perempuan dengan pencitraan tren dan kemasan yang feminin. "Sekarang sudah ada produsen yang mengemas rokok dalam bungkus berbentuk lipstik," ujar Imam.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, pada 2007 jumlah perokok perempuan hanya berkisar 1-2 persen, sekarang naik menjadi 6 persen dari total perokok di Indonesia. Imam menilai jika jumlah perempuan perokok semakin bertambah, Indonesia akan mendapati generasi yang tidak sehat sejak di dalam kandungan atau kenaikan angka kematian bayi.
Sumber : kompas.com