Pages

Rabu, 30 Maret 2011

Sedih, Gadis Kecil Ini Cerdas dan Aktif, Namun Dia Kurang Beruntung

Shear Blog - Fitria alias Pipit (10) tanpa perasaan takut duduk di salah satu sudut sebuah menara telekomunikasi setinggi 50 meter di Jalan Suka Damai Raya, Kelurahan Serua, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Rabu (30/3/2011) siang. Sesekali ia berdiri dan memainkan kabel di atas menara itu. Begitu melihat kedatangan Suandi (41) dan Guntur (26), dua petugas Satuan Polisi Pamong Praja Kota Tangerang Selatan, secepat kilat si bungsu tiga bersaudara dari pasangan Supratno (52) dan Sumarni (50) itu naik ke puncak menara. Jaraknya sekitar 10 meter dari posisi awal.

Di puncak menara itu, Pipit berdiri di salah satu sudut. Tak lama berselang, ia mengangkat kaki dan menari-nari. Sesekali badannya dimiringkan ke arah luar menara. Ia selanjutnya membuat gerakan berputar. Hal ini tentu saja membuat geger warga kampung itu. Teriakan istigfar dan "ya ampun" keluar dari mulut warga yang memenuhi badan jalan untuk menyaksikan adegan tersebut. Ada yang menutup mata karena tak kuat melihat adegan yang menyeramkan tersebut.

Setelah dibujuk, akhirnya Pipit bersedia turun dengan dua syarat. "Ia mau ayahnya dipenjarakan dan minta uang untuk ditabung dan diberikan kepada ibunya. Saya bilang, iya, nanti polisi akan memenjarakan ayahnya. Saya beri uang Rp 30.000. Setelah itu, anak itu mau turun," ujar Suandi. Tepuk tangan warga membahana saat Suandi dan Guntur berhasil membawa turun Pipit. Setelah itu, Kepala Polsek Ciputat Komisaris Alip langsung membawa anak itu ke kantor Kepolisian Sektor Ciputat.

Dua setengah jam yang menegangkan
"Anak itu sudah di atas menara pukul 14.30. Saya tak tahu kapan dia naik," kata Saleh (43), warga sekitar. Pipit berhasil dibawa turun petugas pukul 16.59. Pipit adalah seorang anak putus sekolah. Ayahnya kuli bangunan serabutan. Ibunya tidak bekerja di luar rumah. Bersama keluarganya, mereka hidup berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah kontrakan lainnya. 

Tiga bulan terakhir mereka baru menempati rumah petak kontrakan di Kelurahan Sawah, Kecamatan Ciputat (hanya berbeda satu jalan dari Jalan Suka Damai I, lokasi menara yang dipanjat Pipit). Rumah petak berukuran 3 x 5 meter itu dihuni lima orang.

"Pipit sudah tak bersekolah lagi selama lebih dari setahun. Terakhir, ia cuma sampai kelas I karena kami tak punya uang," ungkap Sumarni. Kakak tertuanya, Susanti (24), tak sempat tamat sekolah dasar. Kakak lainnya, Susanto (18), mengalami cacat seumur hidup akibat penyakit hidrosepalus yang diderita sejak bayi.

Pipit seperti tidak terawat. Kulitnya kusam dan kakinya terlihat banyak koreng. Ia terlalu lincah dibanding anak seumurnya. Ia terlalu aktif dari teman-teman mainnya sehingga sering membuat ayahnya sangat marah kepadanya. "Bapak sering mukul saya. Saya pernah dikejar dan mau dipukul. Saya naik ke atas genteng, kami kejar-kejaran di situ," ungkap Pipit.

Mencari ketinggian
Pipit selalu mencari ketinggian ketika jiwanya tertekan. Jika kesal, maka ia selalu mencari ketenangan di atas pohon, genteng rumah, tiang tinggi, dan menara. "Saya selalu mendapat ketenangan kalau ada di atas ketinggian. Perasaan saya terasa lega dan sepertinya tak ada beban," kata Pipit. Hal itu termasuk ketika ia memutuskan memanjat menara telekomunikasi di Jalan Suka Damai I. "Tadi pagi itu saya kesal pada keponakan karena dia tak mau mendengar apa yang diajarkan. Saya langsung manjat menara itu," ucap Pipit yang bercita-cita menjadi seorang dokter.

Kepala Polsek Ciputat Komisaris Alip menjelaskan, ini adalah kali ketiga Pipit memanjat menara. "Selasa kemarin, dia memanjat menara ini. Setelah itu, kami membawanya ke kantor Polsek. Dia sempat permisi ke kamar mandi, eh, ternyata dia naik ke ujung menara di belakang kantor ini," kata Alip. Marcilea, Koordinator Marcilea Foundation, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang kesehatan bagi keluarga miskin, mengatakan, pihaknya sudah membawa Pipit konsultasi kejiwaan ke Rumah Sakit Jiwa Marzuki Mahdi, Bogor.

"Tak ada gangguan kejiwaan dalam diri Pipit. Justru disarankan untuk memeriksakan Pipit ke bagian EEG," ungkap Marcilea.

Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia, Seto Mulyadi, sempat berdialog dengan Pipit di ruang Wakapolsek Ciputat. "Anaknya cerdas dan aktif. Ia memiliki kelebihan yang melebihi anak seusianya. Kemungkinan ia termasuk indigo, tetapi masih harus dites terlebih dulu," kata Kak Seto, nama panggilan Seto Mulyadi.

Tindakan Pipit itu, lanjut Kak Seto, adalah bentuk protes yang dilakukannya atas perlakuan dan tekanan yang dihadapinya selama ini. "Sifat genetis yang menonjol dari anak itu adalah suka berlarian dan memanjat," ungkap Kak Seto. Solusi yang harus dilakukan, kata Kak Seto, adalah membuang semua energi berlebihan dengan aktivitas bermanfaat, dekat dengan orang yang mengasihi, dan mendapat pola asuh yang benar. 

Sumber : Kompas.com