Shear Blog - Alergi sering kambuh, insomnia, kelelahan atau kulit bermasalah bisa  menjadi indikasi bahwa jumlah toksin yang menumpuk dalam tubuh melebihi  kemampuan sistem pembuangan. Dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan  terapi atau program detoks tambahan. Tujuan detoks adalah  membersihkan dari zat-zat berbahaya yang masuk ke dalam tubuh melalui  makanan, minuman, polusi, sekaligus memperbaiki sistem pembuangan tubuh.  Organ yang memegang peran kunci dalam proses detoksifikasi adalah liver  dan saluran usus. 
 "Tubuh memang punya mekanisme pembersihan  sendiri yakni melalui buang air besar (BAB). Tapi berapa banyak yang  rutin BAB setiap harinya? Lagi pula tidak semua kotoran keluar dari  tubuh, sebagian akan menempel di dinding usus besar dan menjadi racun  seiring waktu," papar dr.Catherine Tjahjadi, ahli detoksifikasi. Karena itu, menurutnya, proses BAB yang tidak lancar (konstipasi), sama  halnya dengan tertimbunnya "sampah" di usus. Bahayanya adalah  racun-racun ini bisa  kontak dengan dinding usus dan menyebabkan  peradangan.
Di dalam usus besar juga masih terjadi proses  penyerapan. "Yang diserap bukan cuma air tapi juga vitamin dan mineral  yang masih dibutuhkan tubuh. Tidak ketinggalan toksin-toksin. Sehingga  kita akan mengalami autointoksikasi atau keracunan oleh tubuh kita  sendiri," imbuh dokter dari Klinik Suisse Jakarta ini. 
 Melalui  proses detoks, kotoran yang bertahan dan berkerak di usus besar bisa  dikeluarkan. Detoks bisa dilakukan dengan cara dari luar ke dalam,  seperti hanya mengonsumsi buah dan serat saja. Jenis detoks  lainnya yang bersifat lokal dan efektif adalah hidrokolon atau cuci usus  besar. Prosesnya sederhana, air yang sangat steril dialirkan melalui  pipa kecil melalui anus langsung ke usus besar. Air yang dipakai adalah  standar air minum yang sudah disteril dengan sinar UV dan bersuhu 37  derajat.
 Aliran air ini melunakkan tinja sehingga bagian usus  mebesar dan merangsang gerakan peristaltik pada usus besar. "Selanjutnya  akan timbul rasa mulas dan kita tinggal mengejan untuk mengeluarkan  kotoran," papar dr.Catherine. Air yang dipakai dalam terapi  hidrokolon berjumlah 36 liter dan dimasukkan secara bertahap. "Terapi  ini tidak menggunakan pompa, aliran air hanya mengandalkan gravitasi  saja karena galon air ditempatkan agak tinggi dan pasien dalam posisi  setengah tidur," jelasnya.
 Ia menambahkan, sepertiga galon  pertama bertujuan untuk melunakkan tinja di bagian ujung usus besar atau  kotoran yang baru sehingga yang keluar adalah feses. Setelah itu 2/3  galon berikutnya yang keluar dari anus hanyalah air saja yang berarti  sudah terjadi pembersihan dinding usus. 
 "Ada juga pasien yang  dari awal sampai akhir hanya keluar air saja tidak ada tinja. Itu  biasanya kalau pasien dehidrasi sehingga fesesnya terlalu keras.  Biasanya hidrokolon harus diulang lagi untuk mengeluarkan tinjanya,"  imbuhnya.
 Proses hidrokolon dilakukan selama 40 menit serta  dilakukan dalam ruangan tertutup untuk menjaga privasi dan kenyamanan  pasien. Untuk terapi ini, pasien dikenakan biaya sebesar Rp. 500.000. Terapi  hidrokolon ini sebenarnya bukan hal baru. Menurut dr.Cathrine, terapi  ini sudah dikenal sejak ribuan tahun lalu dan populer di banyak negara.  Akan tetapi terapi ini memang tidak dimasukkan ke dalam kedokteran  konvensional. "Hidrokolon termasuk dalam kedokteran komplementer, tapi  sudah dinyatakan aman," katanya.
 Minum saja tidak cukup
  Meskipun hidrokolon menggunakan media air untuk mengeluarkan feses,  namun menurut dr.Catherine hasilnya akan berbeda jika kita melakukan  detoks sendiri dengan banyak-banyak minum air.  "Jika kita minum  air, pertama air akan masuk ke lambung. Di bagian itu akan ada proses  penyerapan sehingga air yang masuk ke usus besar tinggal sisanya. Lagi  pula maksimal kita hanya sanggup minum air sebanyak dua liter,"  jelasnya.
 Demikian pula halnya dengan obat-obatan pencahar yang  sifatnya hanya mengeluarkan kotoran baru. "Kotoran yang lama dan sudah  mengerak tidak bisa ikut dikeluarkan. Selain itu cara kerja obat  pencahar adalah membuat otak untuk mengirim sinyal kepada tubuh agar  mengirim air yang banyak ke bagian usus besar. Efeknya tubuh bisa  dehidrasi," katanya.
 Walaupun terbilang aman, namun terapi  hidrokolon ini tidak dianjurkan untuk pasien kanker kolorektal dan  pasien hipertensi. "Aliran air dan proses mengejan terus selama 40 menit  bisa membuat tekanan darah tambah naik," jelas dr.Catherine. Efek samping yang mungkin timbul dari terapi ini adalah rasa mual,  terutama pada pasien yang tidak tahan pada tekanan. "Karena itu  disarankan untuk tidak makan makanan padat dua jam sebelum terapi,"  katanya.
 Terapi hidrokolon tidak hanya menyingkirkan racun dan  bakteri yang bersifat patogen, tapi juga bakteri baik. Karena itu pasca  terapi, pasien akan diberikan kapsul probiotik, minuman isotonik untuk  mengganti elektrolit yang hilang, serta secangkir teh hijau untuk  memberi efek menenangkan. Pasien yang banyak melakukan terapi ini  menurut dr.Cathrine adalah pasien sembelit kronik, penderita alergi,  pasien penyakit kulit, atau mereka yang mengalami gangguan penyerapan  nutrisi.
Sumber : KOMPAS health 






 
 
 
 
 
 
 
 
 
 Postingan
Postingan
 
